Delapan (atau mungkin belasan jam) di depan laptop, bolak-balik switch tab agar bisa hadir di meeting yang bersamaan, tumpukan email yang tak sempat dibaca, dan masih menganggap bahwa dirimu belum bekerja keras sepanjang hari?
Welcome to Hustle Culture!
Dalam bahasa Indonesia, kata “hustle” diartikan sebagai “semangat yang meluap”. Sedangkan hustle culture adalah budaya yang mendorong seseorang untuk bekerja tanpa henti kapan pun dan di mana pun. Karir dianggap sebagai aspek terpenting dalam hidup yang diperoleh melalui kerja keras. Penganut hustle culture percaya bahwa apa yang ia lakukan tak pernah cukup untuk mencapai kesuksesan.
Ciri Hustle Culture
Mereka yang terjerat dalam hustle culture dinamakan hustlers. Selintas terdengar keren meskipun sebenarnya mengkhawatirkan. Mengapa demikian? Hustlers selalu termotivasi untuk mencapai kesuksesan di usia muda. Dalam prosesnya, tak jarang mereka kerja mati-matian hingga larut malam, mengambil side job, hingga mengabaikan waktu istirahat.
Ciri utama dari seorang hustlers yakni merasa bersalah apabila waktunya diisi dengan refreshing atau istirahat. Segala hal yang mereka kerjakan harus berhubungan dengan pekerjaan. Semakin banyak bekerja, semakin dekat jalan untuk mewujudkan ambisi.
Hustlers berpendapat bahwa mereka adalah kumpulan orang produktif. Padahal, keduanya jelas berbeda. Produktivitas diartikan sebagai cara menghasilkan output yang berkualitas dalam waktu singkat, sedangkan hustlers berusaha bekerja dalam durasi yang panjang, tanpa memperhatikan kualitas output yang berhasil diraih.
Budaya ini juga berdampak terhadap penurunan kreativitas individu. Menurut Dr. Jeanne Hoffman, psikolog dari UW Medicine, bekerja lebih dari 50 jam per minggu justru melumpuhkan produktivitas dan inovasi seseorang.
Yang terakhir, hustlers tak mau tertinggal di belakang. Mereka selalu belajar, bekerja dan mengorbankan segalanya untuk sampai di garis puncak. Meskipun tujuannya baik, hustle culture membuat orang tak peduli lagi dengan kesehatan fisik dan mental